Selasa, 27 September 2011

KITA SEMUA HARUS DIMUSNAHKAN?



Kita Semua Harus Dimusnahkan?
Oleh : Shubhan Hasfi

            Masalah demi masalah, sambung menyambung di negeri ini. Seperti tak memiliki babak akhir. Belum selesai kasus A, muncul lagi kasus B. Kasus C masih diisukan, tiba-tiba sudah lahir kasus D. Begitu seterusnya. Seolah-olah, masalah demi masalah yang muncul ke permukaan, adalah sesuatu yang memang harus disimpan atau – bahkan –  ditabung untuk hari esok. Kita adalah generasi yang dibentuk dalam dimensi berkarat dan berat. Menyimpan ketidakmengertian nasib kita sendiri, kepada pilihan antara bersikap  apatis atau ekstrimis. Masalah menjadi begitu runyam, ketika kita tak tahu lagi jawaban apa yang akan kita suguhkan. Untuk menjawab, siapa, dan apa yang menjadi sumber masalahnya. Yang paling sering, kita memberi dua bunyi dari pertanyaan tadi. Yang pertama berbunyi “wajar”. Yang kedua berbunyi “entahlah”.

            Kita bentuk banyak opsi. Ada yang bernama Tim Khusus, Panitia Khusus, Badan Khusus, Komisi Khusus, Staf Khusus, dan banyak lagi khusus-khusus yang lain. Tapi keadaan tak berubah. Rakyat membutuhkan perubahan. Terlepas dari, apakah kita menayangkan tontonan yang berkelas, atau yang biasa. Dalam hal ini, keadilan sering terlihat rapuh dan gampang sobek. Seperti kertas-kertas yang gampang lebur oleh sesuatu, dengan kadar volume tertentu. Kenyataan cukup diramu sedemikian rupa, sehingga berubah wujudnya menjadi pernyataan. Kasus demi kasus yang mencemaskan perlahan menghilang dari balik tabir keadilan. Kemudian mengendap dan bersembunyi di suatu tempat yang tak pernah diketahui keberadaannya. Sehingga, yang lahir dari iklim krisis kepercayaan akan peran keadilan di negara ini hanyalah keputus-asaan belaka.

            Ternyata fenomena keputus-asaan dan kekecewaan dalam menanggapi permasalahan di Negara ini tak hanya terjadi pada level warung kopi saja. Wabah putus asa juga tengah berjangkit dikalangan intelektual. Khususnya di Perguruan Tinggi. Dalam seminar-seminar atau diskusi-diskusi tentang ‘kebenaran’ dan ‘idealisme’, penulis sangat sering mendengar argumen-argumen yang mengusulkan, agar manusia yang hidup di zaman ini lebih baik dimusnahkan semua – tanpa terkecuali. Untuk memulai peradaban baru yang lebih baik lagi tentunya. Alasannya, manusia-manusia yang hidup di zaman ini sudah tak dapat dipilih lagi mana yang benar, mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Secara pukul rata, kita adalah kebobrokan yang majemuk.

Pada satu perkuliahan yang penulis ikuti, seorang Asdos mengatakan bahwa ia pernah berdialog dengan seorang guru besar di sebuah Universitas Negeri terkemuka  kota Medan. Sebut saja guru besar itu bernama Profesor Z. Mereka membahas masalah keadilan, berikut solusi untuk mewujudkannya. Menanggapi permasalahan-permasalahan akut yang terjadi di Negara ini, Prof. Z berpendapat bahwa keadaan hanya dapat diubah dengan mengubah ulang karakter generasinya. Pertama-tama, kumpulkan bayi-bayi yang baru dilahirkan. Kemudian dibawa ke dalam hutan rimba yang dipastikan belum pernah diakses manusia. Selanjutnya, bayi-bayi itu dibesarkan dan didoktrin sedemikian rupa, sehingga tertanamlah nilai-nilai idealisme yang mapan. Setelah berhasil mendidik generasi pilihan tersebut secara millitan dan intelektual, tibalah saatnya bagi generasi tersebut untuk menghancurkan seluruh manusia yang ada di muka bumi ini hingga tak ada yang tersisa, selain generasi pilihan tersebut. Kemudian generasi pilihan tersebut memulai dan menata kembali kehidupan yang lebih jujur dan adil.

            Argumen Prof. Z sebenarnya bukanlah gagasan yang baru. Ide untuk membangun peradaban dengan jalan pemusnahan telah dipertontonkan sejak dulu. Kita bisa sebut nama seperti Stallin yang mendustai ajaran Marxisnya. Atau yang terbaru, sebuah pembantaian sekelompok anak muda penyokong partai Buruh di sebuah pulau bernama Utoeya di Norwegia oleh Anders Behring Breivik. Hanya karena beda partai. Hanya karena mimpi perubahan instan. Era 1940-an, dengan tokoh yang sangat kita kenal, yaitu Adolf Hitler (Fuhrer). Dalam catatan Hitler yang dibukukan dengan judul Mein Kampf, Hitler menganggap bahwa keadaan yang runyam di dunia ini hanya dapat diselesaikan dengan cara pemusnahan massal. Hitler bercita-cita ingin membangun sebuah Imperium yang kuat, yang lahir dari rahim peradaban Jerman. Imperium tersebut nantinya akan diisi oleh orang-orang dari Ras Arya (Ras Hitler). Yang cerdas dan millitan. Mereka yang terseleksi sebagai manusia-manusia pilihan nantinya, akan berkembang biak sehingga menghasilkan generasi-generasi yang berkualitas pula. Sementara manusia-manusia yang tidak – atau kurang – berkualitas, harus disingkirkan dari muka bumi. Karena dianggap ‘sampah’. Hanya merugikan negara saja. Bagi Hitler, perlu diadakan perang sengit untuk membasmi generasi cacad yang tak menguntungkan peradaban.

            Umumnya, mereka yang menjadi berdarah dingin karena keadaan, adalah individu-individu yang tertekan oleh masalah-masalah yang bertumpuk. Sehingga, ketidakpercayaan terhadap “penanganan elit” mengantarkan lahirnya pembantaian yang sadis. Sesekali menjadi menjijikkan. Kita, walaupun dalam bentuk pretensif, nampaknya banyak yang mengarah pada pembantaian missal. Pembantaian missal dianggap pas untuk meringkas peristiwa yang semakin bobrok. Karena menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Begitu pun dalam perubahan.

            Tentu kita masih sangat menghendaki kehidupan yang terbangun dengan nilai-nilai kebersamaan, kesadaran, dan kesamarataan. Selama ini, perjalanan panjang Negara kita terus berlanjut dengan perangkat-perangkat norma dan moralitas yang mengarah pada nilai-nilai luhur. Kita tentu tak menginginkan kebiadaban menjadi solusi. Namun, jika memang permasalahan-permasalahan yang terus ditabung di Negara ini tidak segera dibongkar, mungkin tak hanya umpatan-umpatan saja yang akan mencuat. Klimaks dari kekecewaan atas segala permasalahan yang disembunyikan dari balik tabir keadilan, akan berujung pada pemberontakan. Karena kepercayaan kebersamaan telah musnah. Lantas, apa yang akan terjadi, jika di Negara ini ternyata menyimpan banyak Hitler-Hitler yang baru? Dan apakah kita semua memang layak untuk dimusnahkan? 


1 komentar:

Anonim mengatakan...

i like it